Inilah hadits tentang perrintah
melaksanakan perintah sesuai dengan kemampuan kita, silahkan dibaca dan semoga
bermanfaat.
عن أبي هريرة
عبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما
نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم , فإنما أهلك الذين من
قبلكم كثرة مسائلم واختلافهم على أنبيائهم
Dari Abu
Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata : Aku mendengar
Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya,
hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka
lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum
kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau
taat dan patuh)"
[Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]
Hadits ini
terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah
berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan
kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai
Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga
kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib
dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi
:Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat
sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka
jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu,
tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki
yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah
menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh mempersoalkan
perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang
ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak
wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau
menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil
bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya
“Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan
pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan
kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan
sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan
tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan
berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya
wajib dilakukan satu kali seumur hidup.
Kalimat, “Biarkanlah aku dengan
apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama
tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa
pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan
agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli
fiqh.
Kalimat, “Kalau aku katakan “ya”
tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa
Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak
diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.
Kalimat, “apa saja yang aku
perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat
yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam,
termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung
banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila
seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari
syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam
membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak
bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam
memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah
ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya.
Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas
sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada
Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang
sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian
ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan
menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah
memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS.
Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan
firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada
kamu dalam menjalankan agama”
Kalimat, “apasaja yang aku larang
kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya
sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan
melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam
keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi
dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan.
Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan
tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan
perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip
yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus
segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka
hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.
Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran
umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi
mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku
diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga
menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada
bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang
seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya,
niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.
Akan tetapi, karena mereka banyak
bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan
dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini
terjadi pada umatnya.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar